Hijrah Mas Gagah dari Lembaran Buku ke Layar Sinema

Ketika Mas Gagah Pergi the Movie | Official Poster
Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) adalah sebuah karya fenomenal Helvy Tiana Rosa (salah satu pendiri Forum Lingkar Pena) yang bertahan lebih dari 22 tahun dalam menginspirasi kaum muda. KMGP juga disebut-sebut sebagai karya yang mempengaruhi gerakan dakwah di Indonesia (Yo Nonaka, peneliti asal Jepang) bisa dibilang sosok Mas Gagah dijadikan role model ikhwan pergerakan di Indonesia.

Perjuangan mengangkat buku KMGP ke layar sinema tidaklah mudah. Pernah akan difilmkan namun ternyata gagal, ‘dipinang’ oleh beberapa PH besar tapi ingin menghilangkan beberapa unsur, sampai akhirnya sepanjang tahun 2015 yang lalu, Helvy Tiana Rosa menggagas KMGP lewat Crowd Funding, yaitu gotong royong untuk suatu proyek idealis.

Ditulis pertama kali pada tahun 1992, KMGP telah banyak mengalami revisi termasuk pada filmnya. ‘Hijrahnya’ Mas Gagah ke dalam film memang terbilang tidak mudah. Umumnya, buku yang diangkat ke dalam film lebih banyak tidak sesuai ekspektasi dan cenderung mengecewakan. Hal ini lumrah, sebab saat membaca buku, pembaca bebas menginterpretasikan tokoh hingga jalan cerita sesuai ekspektasinya. Sedangkan pada film, penonton akan terpaku pada satu acuan mutlak mulai dari tokoh hingga setting. Seringkali tokoh dan setting ini tidak sesuai dengan ekspektasi penonton sehingga mengecewakan.
Hijrahnya Mas Gagah ke dalam film juga tidak terlepas dari dilema sejenis. Walau masih mengangkat tema besar yang sama, namun alur cerita KMGP yang berubah membuat saya harus menyusun logika dari dasar lagi.
------- 

Film KMGP berkisah tentang hubungan kakak adik bernama Gagah (Hamas Syahid Izzuddin) dan Gita (Aquino Umar) yang berubah drastis sejak Gagah pulang dari Ternate. Gita yang terbiasa seru-seruan bersama abang gantengnya yang berprofesi sebagai model sekaligus senpai karate tiba-tiba harus terkejut karena perubahan abangnya. Gagah yang dulunya sangat modis dan gaul berubah menjadi suka memakai baju koko dan celana kain. Gagah yang suka hangout dan nongkrong-nongkrong cantik atau nonton konser, kini berubah pendiam dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku. Selera musiknya juga berubah, menjadi lagu-lagu arab yang diperkenalkan Gagah kepada Gita sebagai nasyid, bukan hanya lagu namun juga dzikr (pengingat)

Perubahan Gagah membuat Gita membenci abangnya itu, Gita menganggap Gagah tidak lagi asyik dan tidak bisa memahami dirinya. Pertengkaran-pertengkaran kerap terjadi, Mama (Wulan Guritno) sampai pusing melihatnya. Di satu sisi Mama yakin bahwa Gagah benar, tetapi Mama juga meminta Gagah agar tetap menjaga adiknya. Gita menganggap Mama pilih kasih, sementara cukup dilematis bagi Gagah untuk mengikuti adiknya atau mengikuti agamanya dengan konsekuensi dijauhi oleh orang tersayang. Tetapi Kiai Gufron (Salim A Fillah) menguatkannya dalam suatu pembicaraan lewat telepon bahwa istiqomah adalah kunci utama.

Karena membenci Gagah, Gita tidak lagi ingin diantar ke sekolah. Ia memilih menggunakan bis umum padat penumpang. Entah bagaimana ceritanya, Gita sering bertemu seorang lelaki yang pindah dari bus ke bus untuk berdakwah (Masaji Wijayanto). Lelaki yang tidak pernah menyebutkan namanya itu tidak pernah malu menyampaikan kebenaran. Sebagian orang menganggapnya pengamen yang mengharap recehan sehingga beberapa penumpang sering menawarkan uang, namun selesainya ia menyampaikan dakwahnya, ia segera turun dari bis dan berpindah ke bis selanjutnya. Awalnya Gita merasa terganggu, bahkan sempat melawan lelaki ini. Namun dalam suatu waktu, Gita hampir saja kecopetan dan lelaki misterius itulah yang menolongnya. Setelah kejadian itu Gita juga mendapati lelaki misterius itu sedang menolong penduduk dari musibah kebakaran. Gita jadi salut, maka dalam kesempatan lain saat ia bertemu lagi dengan lelaki itu, Gita bertanya siapa namanya. Namun karena lelaki itu segera pindah ke bus lain, Gita hanya mendengar “Fi sabilillah” dan akhirnya menamai lelaki itu dengan Mas Fisabilillah.

Sementara Gagah akhirnya bersahabat dengan para preman tobat yang ditemuinya di sebuah perkampungan kumuh di pinggir laut. Gagah awalnya berniat mengembalikan dompet yang ditemukannya, namun tiga orang preman datang dan memalak Gagah. Sayang, Gagah yang jago karate terpaksa memberi pelajaran dengan jurus karatenya. Tak disangka, ketiga preman itu ternyata pensiunan preman alias preman tobat yang mengurusi anak-anak di kampung itu. Bersama Gagah dan teman-temannya, mereka akhirnya membangun Rumah Cinta yang difungsikan sebagai taman baca, tempat berkreasi dan juga terdapat masjid untuk beribadah. Gagah juga mengajarkan ketiga preman untuk istiqomah alias konsisten dalam berbuat kebaikan. Gagah juga membawa Mama ke Rumah Cinta, disana hati Mama begitu tersentuh, terutama saat seorang anak perempuan menghadiahi Mama sepotong jilbab.

Konflik Gagah dan Gita masih terus berlanjut, puncaknya saat Gita diam-diam membongkar laptop Gagah yang diyakininya bisa mendapatkan informasi tentang perubahan abangnya yang bahkan disangkanya terjebak aliran sesat. Gagah berusaha meminta maaf dengan membelikan Gita sebuah rok untuk dipakainya. Bukannya berbaikan, Gita malah makin ngambek karena merasa Gagah tidak mengerti dirinya yang tomboy. Gita mengajukan syarat, Gagah harus mengikuti keinginannya. Gagah menuruti, membawa Gita ke sebuah pesta. Lebih lucu lagi ketika Gita keheranan melihat pesta pernikahan yang dipisah antara lelaki dan perempuan itu. Gita mengintip area ikhwan lalu berusaha menerobos. Karena dilarang oleh seorang panitia, Gita akhirnya membuat kerusuhan dengan menumpahkan makanan yang sedang dibawa seorang waiter. Gagah geram bukan kepalang, tapi Gita lebih marah lagi kepada Gagah.

Gita lebih terpukul saat melihat sahabat dekatnya, Tika juga ikut berjilbab. Begitupun Mama yang didapatinya sedang melipati jilbab lantas berkata “Hidayah, Git… Doakan Mama dapat hidayah…”. Gita betul-betul tidak mengerti, semua orang berubah aneh seperti Mas Gagah!
 -------


Akhirnya bisa nonton juga T^T
 Antara buku dan Film KMGP 

Sebagai pembaca KMGP, saya memang harus merekonstruksi ulang pikiran saya. Sebab, alur ceritanya memang sangat berbeda. Perbedaan-perbedaan besar yang saya soroti adalah sebagai berikut : 

  • Loncatan Zaman

Ditulis pada tahun 1992, KMGP versi film telah disesuaikan dengan masa kini. Setting kekinian terlihat jelas dari gaya berpakaian anak kekinian ala Gita yang akrab dengan topi mencolok. Sementara Gagah dalam film ini tidak selalu menggunakan celana kain, Gagah justru banyak menggunakan jeans walaupun dengan warna-warna natural yang tidak mencolok. Begitupun sepatunya yang mewakilkan ‘ikhwan kekinian’, tidak lagi menggunakan sandal sepatu atau sandal kulit seperti ikhwan zaman dahulu.
Loncatan zaman juga terlihat dari gadget seperti smartphone milik Yudi, laptop Gagah dan Gita yang merupakan merk ternama, atau istilah download lagu-lagu nasyid (dulunya hanya ada kaset). 

  • Penggunaan Jilbab

With friend nge-KMGP | "Ini tiket kita!" ehh... "INI FILM KITA!"
Pada saat KMGP ditulis, waktu itu jilbab di Indonesia masih lagi diperjuangkan. Penggunanya dianggap aneh dan hanya digunakan oleh kalangan tertentu. Jika dibuat di masa ini, saya pikir ada baiknya problematika penggunaan hijab harus dibuat lebih kritis. Misalnya, jika di zaman dulu masalah utama jilbab adalah sulitnya penggunaan jilbab dalam kehidupan sehari-hari, di zaman ini ada banyak masalah jilbab yang lain, seperti penggunaan jilbab sebagai mode/tren belaka, atau permasalahan lainnya. Sehingga masalah jilbab bisa menjadi pesan utama dari film ini.

  • Timeline

Timeline dalam buku KMGP berbeda jauh dengan filmnya. Dalam buku, Gagah dan Yudi hidup dalam kesatuan waktu yang terpisah dan tidak sempat bertemu, bahkan keduanya tidak memiliki hubungan. Tetapi dalam film ini, Gagah dan Yudi sempat bertemu, saling mengenal, menuntut ilmu bersama, dan dikenal Gita dalam waktu yang sama.
Selain itu, dalam buku, diceritakan bahwa Gagah-Gita memiliki Papa, sedangkan dalam film, diceritakan bahwa Papa meninggalkan mereka dengan tiba-tiba. Apakah perginya Papa akan menjadi konflik baru dalam film KMGP? Kita lihat saja kelanjutannya.

Menantikan Sekuelnya

Saya tidak mengira bahwa KMGP akan dipecah menjadi dua bagian. Tentu, saya penasaran dengan kelanjutannya. Saya tidak tahu alasan pasti mengapa film ini dibagi dua, apakah mungkin terlalu padat dan banyaknya pesan yang ingin disampaikan sehingga tidak cukup dalam 90 menit. KMGP 1 ini menurut saya lebih menekankan pada pengenalan tokoh. Konflik utamanya justru akan muncul di KMGP 2.

Menyoal Para Pelakon 

Aktor dan aktris dalam sebuah film adalah nafas utama, bagaimana mereka menghidupkan tokoh fiktif dalam dunia nyata. Helvy Tiana Rosa selaku penulis dan produser memang menginginkan pemain baru yang sesuai dengan ruh para tokohnya. Namun, terlepas dari keinginan, manusia memang masih saja punya kekurangan.

Hamas Syahid Izzuddin (Mas Gagah), saat menemani roadshow HTR di Medan, saya membayangkan sosok Gagah yang dirahasiakan oleh HTR ini. Penggambaran kepribadian yang nyaris sempurna dari HTR ternyata tidak berbanding sempurna dengan aktingnya di KMGP. Hamas bukan orang baru, sebelumnya ia sudah membintangi Tausiyah Cinta sebagai pelakon utama. Namun menghidupkan karakter Gagah dalam KMGP bagi saya belum dilakoninya secara baik. Hamas masih terlihat kaku sebagai Gagah. Begitupun saat adegan menghajar tiga preman, Hamas belum bisa menunjukkan Gagah yang seorang senpai karate. Setahu saya, setiap beladiri punya gerakan khas mulai dari kuda-kuda hingga jurusnya. Saya melihat Hamas lebih mendekati tinju ketimbang karate saat adegan ini. Saat marah, Hamas terlihat menyeramkan, nyaris menghilangkan sisi cute and calm-nya dalam adegan lainnya.  

Yang paling mengganggu dari penampilan Hamas adalah janggut tempelnya yang terkesan ‘maksa’. Hampir semua teman mengomentari janggutnya, walau kecil namun memang sangat mengganggu. Beberapa teman bahkan menyarankan agar menggunakan obat penumbuh jenggot saja daripada dibuat tempelan seperti itu. Bondingnya dengan Gita juga belum cukup kuat. Saya mengapresiasi nihilnya sentuhan antara Gagah dengan Gita karena pada dasarnya mereka memang bukan muhrim. Namun saat Hamas menyebut “Dik Manis” tampaknya ia kurang luwes. Mungkin karena Hamas memang tidak biasa mengumbar kata manis atau menggombali lawan jenis :D

Aquino Umar (Gita), walau ada yang mengatakan lebay, bagi saya Noy cukup memuaskan dengan kekayaan ekspresinya. Sebagai bocah tomboy yang cuek dan kekanak-kanakan, Noy terbilang berhasil masuk ke dalam tokoh Gita. Kekesalannya sangat terasa ketika orang-orang di sekitarnya mulai berubah, saya dapat membayangkan jika di posisinya, pasti terasa bingung dan kesal sendiri. Kekuatan Noy ada pada ekspresi jutek dan cemberutnya, tapi saya belum tahu (dan menantikan) ekspresi kesedihan dari Noy yang tentunya akan menguatkan KMGP.



Masaji Wijayanto (Yudi) mungkin cukup mencuri perhatian karena wajah tampannya. Di usianya yang sangat muda saya sempat khawatir ia tidak bisa menghidupkan Yudi. Memang masih terdapat beberapa kekurangan, terutama pada awal kemunculannya di film KMGP. Masaji masih bermasalah dalam artikulasi bicara. Padahal tokoh Yudi punya highlight sebagai orang yang ‘rajin’ bicara. Beberapa kali Masaji terdengar ‘belibet’, walau kecil tetapi telinga penonton cukup peka untuk menemukannya. Dalam novel, perkiraan tokoh Yudi berusia jauh lebih tua dari Gita. Namun dalam film KMGP, Masaji dengan Noy terlihat seperti rekan sepermainan, Masaji belum terlihat lebih dewasa walaupun memanggil Gita dengan sebutan “Dik”, terasa janggal memang.

Ketiga tokoh utama yang muncul di KMGP 1 ini cukup terimbangi dengan pemeran pendukung yang berasal dari jajaran artis senior. Wulan Guritno salah satunya, pembawaannya sebagai ibu yang berjuang menghidupi kedua anaknya memang sangat kuat, terhadap Gita demikian, namun tidak dengan bonding ibu-anak terhadap Gagah.

Kehadiran tiga preman tobat bisa dibilang mengobati ‘kelurusan’ film ini. Adegan yang ketiganya tampilkan selalu lucu, terutama saat Epy Kusnandar menampari bibir Abdur SUCI karena nyosor ingin bicara. Selain itu kehadiran Ely Sugigi yang kesal saat disebut tonggos dan Aty Fatimah SSTI yang disindir gendut di dalam bus juga sama kocaknya.

Mendukung dan Mengapresiasi Film Islami yang Berkualitas

Saat menjadi MC
Roadshow KMGP di Medan

Bagaimanapun, sebagai salah seorang yang mengikuti perjuangan KMGP, saya akan terus mendukung KMGP terutama untuk kebaikan di masa mendatang. Paling tidak, KMGP tidak mengangkat percintaan sebagai tema utamanya seperti halnya film islami mainstream. Sebut saja para pendahulunya yang mengangkat dilema percintaan dalam ranah syar’i. KMGP justru hadir menawarkan tema tentang Hijrah dan Dakwah. Di sekitar saya banyak teman-teman yang terinspirasi oleh KMGP, membuka hati untuk hijrah dan mulai mendekatkan diri kepada dakwah.

Karenanya saya nonton KMGP untuk mendukung film-film seperti ini. Dengan datang ke bioskop dan membayar untuk sebuah film, sesungguhnya kita tengah memberi kepercayaan kepada pelaku industri film bahwa film islami mempunyai tempat tersendiri, juga merupakan pasar penonton yang jelas.
Dengan cara ini pula kita menghidupkan sastra Islami, agar layar bioskop tanah air tidak dipenuhi dengan film asing maupun film yang tidak membangun.

Selain itu dengan menonton KMGP kita juga ikut membantu pendidikan anak-anak di Palestina, dan kita turut pula menyumbang sebuah pohon untuk keberlangsungan alam raya.
KMGP memang bukan film sembarangan! Film ini dipenuhi ruh perjuangan. Mulai dari pra-produksi hingga post-produksinya.

Satu hal lagi, film seperti ini akan mengubah stereotip “Cowok Keren”. Kalau dulu cowok keren ditasbihkan pada anak gaul yang modis, lelaki macho berotot atau naik motor besar, kehadiran Hamas, dkk sepertinya akan mengubah arus. Penghapal Qur’an tidak lagi dianggap kampungan melainkan terlihat keren karena layak menjadi imam yang baik. Bersiaplah para lelaki, karena setelah ini mungkin saja calon anda akan meminta hapalan Ar-Rahman sebagai mahar, atau paling tidak meminta untuk diajarkan Al-Qur’an. Bersiaplah… Standar suami dan calon mantu akan segera berubah :D

KMGP memang bukan film biasa. Bertahan selama lebih dari dua dasawarsa, digarap dengan mempertahankan idealism serta perjuangan crowd-funding yang tidak mudah akan menjadikan KMGP film yang lekat dalam ingatan. Saya selalu percaya, yang dibuat dengan jiwa akan memiliki jiwa, yang datang dari hati akan sampai ke hati. Semoga KMGP bisa!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bertemanlah Seperti Rata-Rata Air

Jangan Suka PHP Orang, Ini Denda yang Harus Dibayar!

Menghayati Lagu Cicak di Dinding